Upstream Color (2013/US)


Get ready for your brain to explode!

Get ready for your brain to explode!

Kalau anda mau membuat otak bekerja ekstra keras tiga kali lipat dari biasanya, saran saya sederhana, tonton saja film-filmnya Shane Carruth. Sebenarnya filmnya Shane Carruth baru ada dua, yang pertama adalah film indie time travel-nya yang super kompleks, Primer, rilis sembilan tahun lalu dan langsung menjadi jawara Sundance Film Festival di tahun 2004. Sekarang Shane Carruth kembali lagi dengan film super duper rumit dari yang pernah orang bayangkan. Kalau anda belum pernah menonton Primer, siap-siap saja mengalami yang namanya kejang otak ketika menonton film terbarunya yang berjudul Upstream Color. Sebuah film ambisius yang menceritakan tentang siklus kehidupan yang saling berkaitan satu sama lain.

Percayalah, saya menonton Primer sampai dua kali plus dibantu dengan infographic-nya yang menjelaskan (entah menambah pusing) tentang timeline yang sebenarnya ada di film time travel tersulit sepanjang masa yang pernah saya tonton itu. Dan ketika ingin bersiap-siap menonton Upstream Color, Shane Carruth berhasil membombardir saya dengan gaya filmnya yang berubah 180 derajat dari film pertamanya. Jika Primer penuh dengan dialog-dialog teknis super padat yang mungkin hanya sebagian yang bisa saya ikuti, Upstream Color mungkin hadir dengan naskah yang saya yakin tidak akan melebihi 50 halaman. Masih disutradarai, ditulis, diproduseri, diedit, diperankan dan scoringnya dibuat oleh Shane Carruth sendiri, effortnya harus saya beri acungan jempol, tapi pada akhirnya, apakah anda dapat menikmati film ini layaknya film-film lain pada umumnya?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Upstream Color dimulai dengan sebuah cerita skema perampokan dan penculikan yang dilakukan oleh seorang pria misterius (Thiago Martins) yang menggunakan cacing, ulat entah belatung sebagai senjata untuk menghipnotis korbannya. Korban yang tidak beruntung tersebut adalah seorang wanita cantik bernama Kris (Amy Seimetz), setelah hidupnya hancur karena dimanipulasi oleh si pria misterius yang selalu membawa cacing itu, ia memulai kembali hidupnya dari awal. Sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang pria bernama Jeff (Shane Carruth) dan mulai memadu kasih dengannya karena ia dan Jeff seperti merasakan yang namanya koneksi spiritual, mereka seperti saling terhubung dan mengerti satu sama lain.

Tapi stop sampai cerita roman Kris dan Jeff, ada seorang pria misterius lagi yang sebelumnya pernah menolong Kris mengeluarkan cacing tersebut dari dalam tubuhnya. Pria misterius (Andrew Sensenig) ini mempunyai sebuah peternakan babi, dan ia gemar merekam bebunyian alam dan mendengarkan ulang rekaman tersebut kepada para babinya atau dirinya sendiri. So here’s the crazy theory, somehow saya berasumsi bahwa babi-babi yang dikembangbiakkan oleh si pria misterius ini adalah babi-babi yang menyimpan separuh jiwa dari orang-orang seperti Kris. Yang hidupnya pernah dimanipulasi oleh seorang pria yang mencekokinya cacing hidup. Ya, cacing yang dipindahkan dari tubuh Kris ke salah satu babi tersebut somehow terkoneksi!

Teori gila tidak berhenti sampai disini, ada satu adegan dimana si pria misterius pemilik peternakan babi itu mengambil secara random anak-anak babi dan membuangnya ke sungai. Sampai suatu saat bangkai babi tersebut terjepit di bawah pepohonan dengan bunga anggrek diatasnya, dan somehow, bunga anggrek berwarna putih tersebut mulai berubah menjadi warna biru karena senyawa kimia yang entah kenapa keluar dari bangkai babi tersebut. Lalu anda harus mulai memutar ulang file film ini kembali ke awal untuk melihat lagi skema perampokan dan manipulasi si pria misterius yang menggunakan cacing, dimana sebelum memanen cacing, ulat entah belatung tersebut, si pria yang mempunyai wajah seperti orang latin ini mengekstrak bubuk biru dari tanaman yang dihuni oleh para cacing tersebut. So what the fuck am I watching?!

Sehabis menonton film ini dan diliputi dengan perasaan seperti ingin membanting semua yang ada di kamar, saya mulai mencari beberapa penjelasan kesana kemari, karena ini adalah film Shane Carruth, minimal anda harus punya buku panduan atau secuil infographic yang bisa mengantarkan anda untuk memahami jalinan cerita filmnya. Dari beberapa sumber yang saya baca, saya bisa simpulkan, bahwa dugaan saya ketika menonton film ini dari awal hampir tepat, bahwa hidup ini saling terkoneksi satu sama lain, tapi di sisi lain, ide gila yang lain, secara tidak langsung si pria yang mempunyai peternakan babi (alias the sampler) itu mempunyai posisi yang sama seperti Tuhan? Gila memang terdengarnya, saya juga hampir keblenger memikirkannya, tapi anggap saja begitu, hidup Kris tidak pernah mudah ketika ada seseorang yang mempengaruhinya lewat cara lain, dalam kasus ini yaitu lewat suara-suara janggal yang dihasilkan dari bebunyian si the sampler.

Ya, maka di akhir kita akan menyaksikan bagaimana Kris berusaha untuk mencari asal muasal suara-suara yang didengarnya, yang pada akhirnya mengantarkan dia kepada the sampler (atau sang Tuhan?) dan melakukan tindakan ekstrim agar ia bisa melakukan apa yang ia mau tanpa pengaruh pihak lain. Lalu pernyataan tersebut malah membuat masalah makin bercabang, sebenarnya apa posisi Jeff? Apa ia juga korban dari si pria misterius yang selalu membawa cacing? Sehingga Jeff bisa merasakan apa yang dirasakan Kris, atau simply hanya seorang manusia biasa yang somehow terkoneksi dengan perasaan Kris. Hipotesa saya, hidup Jeff pernah dimanipulasi si pria cacing, karena ada statement bahwa dirinya pernah bercerai dan mempunyai pekerjaan yang tidak jelas. So it’s destiny then?! Fuck if I know it!

Dibalik semua hipotesa dan teori gila yang bisa saya kumpulkan dan tulis lebih panjang lagi disini, ada satu sisi lembut yang sepertinya ingin Shane Carruth sampaikan. Lewat visualisasi filmnya yang sepertinya sudah belajar satu semester penuh ke Terrence Malick, penuh dengan shot-shot dramatis, blurry dan out of focus disertai dengan scoringnya yang kadang ‘soothing’, kadang ‘eerie’, Shance Carruth sepertinya ingin mengajak penonton untuk menyaksikan karyanya lewat indra perasa dan pendengar, lebih ke perasaan yang ingin diekspos dari tiap shot-shot-nya, minim dialog dan mungkin bisa membuat penonton awam out of focus betulan karena belum bisa memahami apa maksud dari cerita filmnya yang menyelipkan banyak muatan cinta, kehidupan dan makhluk-makhluk mikroskopis lainnya.

Upstream Color mungkin film yang hanya bisa keluar sembilan tahun sekali, apalagi mengingat rekam jejak Shane Carruth yang memang ambisius dan sangat memegang erat prinsip minimalisnya. Semangatnya patut dicontoh, ia bisa membuktikan bahwa film tidak harus selalu mengandalkan kekuatan bujet besar dan naskah cerita yang disertai dialog-dialog jenius saja, tapi bisa juga dihantarkan dengan kekuatan ‘sound and sight’ semata. Dengan kata lain, anda bisa menyimpulkan Upstream Color ini apa saja, entah itu film drama, sci-fi, media untuk meditasi, dokumenter, cuplikan video-video menenangkan, eksperimental, I don’t know, it’s up to you. Yang jelas, kalau anda butuh tontonan yang lain dari yang teraneh, terunik dan terumit sekalipun, Upstream Color harus dicoba, siapkan mata dan telinga anda baik-baik untuk menyaksikan film berdurasi 90 menit ini. So, are you ready?

Rating not be given due to complexity of the movie

13 thoughts on “Upstream Color (2013/US)

  1. setuju banget bro, siklus di film ini emang dahsyat ya :p cacing-manusia-babi-sungai-anggrek-cacing
    terakhirnya kan pas the sampler mati, si pencari anggrek gak dpt anggrek spesial dan the thief juga gak dapat cacingnya
    bener-bener multi-intrpretasi bgt deh. Sayang saya belum nonton primer hehe

    Like

  2. One of the year’s best movies tapi jujur beberapa scene harus saya tonton berulang kali supaya ngerti, soalnya rada bingung kalo enggak lol + abis itu nge-research tentang film ini sejaman lebih saking rumitnya nih film lol. Bahkan guru2 sekolahan ato dosen2 kayaknya bakal kebingungan nontonnya haha.

    Like

    • Kalo gw udah ampe berkali2 nontonnya trus masih kurang sreg, otomatis film ini lepas dari list best movies of the year, hahaha… ya, eksperimental movie kaya gini sih not really my thing, tapi effortnya harus gw acungin jempol, minimal dari segi teknis bagus bgt nih film. Harusnya si Shane Carruth tuh jadi sutradara video klip, bagus2 gw jamin hasilnya 😉

      Like

      • Hahahah, iya bener juga sih, film kayak gini pasti banyak yg nggak ngerti, dan itu understandable bgt. Scene2nya tuh mirip2 Requiem for a Dream nggak sih? lol. Agak serupa gitu. Kyknya nggak mampu deh gw nonton sekali lg -.-

        Like

      • Masih mending requiem of a dream kemana2 kalo kata gw, haha. itu film walau visualnya edan perih, tapi storynya simple dan ngena bgt… Ya siapkan kopi ajalah kalo mau nonton sekali lagi Upstream, haha 😛

        Like

  3. Pingback: My 12 Favorite Movies of 2013 (And Not So Favorite Too) | zerosumo

  4. Pingback: Coherence (2013/US) | zerosumo

What's your opinion?